4 Catatan Tentang Sepatu Kulit Babi
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulilllah, wa ba’du
Pembahasan ini mulai memanas, setelah pengakuan pihak perusahaan sepatu bahwa produknya berbahan kulit babi. Adanya keresahan banyak pihak terkait fenomena ini menunjukkan bagaimana semangat kaum muslimin untuk berusaha membersihkan lingkungannya dari benda najis. Semoga upaya ini juga diimbangi dengan semangat untuk menjaga kesucian hati dari segala bentuk kotoran maksiat lainnya.
Terkait kasus sepatu dari kulit babi, ada beberapa catatan yang bisa diperhatikan,
Pertama, macam-macam kulit yang disamak
Sebagaimana lazimnya pemanfaatan kulit, semua kulit binatang yang hendak digunakan untuk bahan komoditas lain, dipastikan melewati proses ‘samak’. Tidak beda halnya pada kulit babi. Sebelum kulit babi ini digunakan untuk bahan sepatu, tentu saja sebelumnya telah melalui proses samak.
Terdapat sebuah hadis yang menyatakan,
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit itu telak disamak maka statusnya menjadi suci.” (HR. Muslim 366, Abu Daud 4123).
Apakah kulit babi dan hewan haram lainnya juga termasuk dalam hadis ini? Sehingga ketika kulit babi itu disamak maka statusnya suci dan boleh dimanfaatkan?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kulit anjing atau babi, tidak bisa menjadi suci dengan disamak. Sementara itu, hadis ini hanya berlaku untuk kulit bangkai binatang yang halal dimakan. Misalnya, sapi yang mati tanpa disembelih (bangkai), kemudian kulitnya disamak, maka status kulit ini menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.
Diantara ulama yang memilih pendapat ini adalah Imam As-Syafii. Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi menyatakan,
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ جَمِيعُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلِّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا
Pendapat As-Syafii, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).
Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa kulit binatang ada 3 macam:
Kulit binatang yang statusnya suci dan boleh dimanfaatkan, meskipun tidak disamak. Itu adalah kulit hewan yang halal dimakan dan disembelih dengan cara yang benar.
Kulit binatang yang tidak bisa disucikan, meskipun telah disamak. Statusnya tetap najis, apapun keadaannya. Itulah kulit semua binatang yang haram dimakan, seperti babi atau anjing.
Kulit binatang yang suci setelah disamak, dan najis jika tidak disamak. Itulah kulit bangkai binatang yang halal dimakan, seperti kulit bangkai sapi, dst. (Liqa’at Bab Al-Maftuh, Volume 52, no. 8).
Kedua, Hukum menggunakan sepatu kulit binatang haram dimakan
Dari keterangan di atas, kita mendapat kesimpulan bahwa kulit babi termasuk benda najis, meskipun telah disamak. Jika kita memiliki sepatu berbahan kulit babi, bolehkah digunakan?
Terdapat suatu hadis dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبُوسِ جُلُودِ السِّبَاعِ، وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai kulit binatang buas dan menungganginya. (HR. An-Nasai 4255, Abu Daud 4131 dan dishahihkan Al-Albani).
Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama melarang menggunakan sepatu dari binatang buas. Diantara alasannya, karena binatang buas tidak boleh dimakan, sehingga kulitnya tidak bisa menjadi suci dengan disamak. Diantara yang memfatwakan demikian adalah seorang ahli hadis Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Ketika beliau ditanya tentang hukum menggunakan sepatu dari kulit binatang buas, beliau menjawab,
الحديث الذي ورد في عدم استعمال جلود السباع يدل على أنها لا تستعمل، وإنما تستعمل إذا كانت مصنوعة من جلد الحيوان مأكول اللحم، وما كان يطهره الدباغ، وهو الذي مات بدون تذكية، وأما الحيوان الذي لا يؤكل فالتذكية وجودها مثل عدمها، وذبيحته ميتة، والله تعالى أعلم
Hadis tentang tidak bolehnya menggunakan kulit binatang buas, menunjukkan bahwa sepatu semacam itu tidak boleh digunakan. Yang boleh digunakan hanya sepatu yang terbuat dari kulit hewan yang halal dimakan dan bisa menjadi suci setelah disamak. Yaitu binatang yang mati tanpa disembelih (bangkai). Sedangkan binatang yang tidak halal dimakan, maka meskipun disembelih, dianggap tidak ada. Dan status (hewan yang haram dimakan) setelah disembelih adalah bangkai. Allahu a’lam. (http://www.alftwa.com/v/3cf45e13d3a7a52a)
Hal yang sama juga difatwakan Lajnah Daimah, ketika ditanya tentang hukum memakai sepatu impor dari barat, sementar tidak diketahui apakah itu dari kulit yang halal dimakan ataukah kulit babi.
Lajnah Daimah memberi jawaban,
الأصل الطهارة وجواز لبسها حتى يثبت ما يوجب الحكم بنجاستها وتحريم لبسها ، من كونها من جلد خنزير ، أو من حيوان غير مذكى ذكاه شرعية ولم يدبغ
Hukum asalnya adalah suci dan boleh digunakan. Sampai kita yakin ada hal yang menyebabkan dia najis dan haram digunakan, baik karena terbuat dari kulit babi atau binatang yang tidak disembelih dengan cara yang syar’I, sementara tidak disamak. (Fatawa Lajnah Daimah, 24/29).
Ketiga, Kapan menyentuh benda najis menyebabkan terkena najis?
Setelah kita mendapat kesimpulan bahwa sepatu dari kulit babi itu tidak boleh digunakan karena najis, bagaimana status kaki yang sudah memakai sepatu itu?
Prinsip penting yang bisa kita pegangi dalam hal ini adalah tidak semua bentuk menyentuh benda najis, menyebabkan badan kita menjadi najis. Karena itu, ada dua hal yang perlu dibedakan, benda najis itu sendiri dan menyentuh benda najis.
Menyentuh benda najis bisa menyebabkan bdan kita menjadi najis, jika ada bagian benda najis itu yang menempel. Sebaliknya, jika tidak ada bagian benda najis itu yang menempel maka status badan kita tetap suci.
Syaikh Dr. Sholeh Al-Fauzan menjelaskan,
وإذا لمس الإنسان نجاسة رطبة؛ فإنه يغسل ما لمسها به من جسمه؛ لانتقال النجاسة إليه، أما النجاسة اليابسة؛ فإنه لا يغسل ما لمسها به؛ لعدم انتقالها إليه
Jika ada orang menyentuh benda najis yang basah maka dia harus mencuci bagian tubuhnya yang terkena benda najis itu, karena ada bagian najisnya yang berpindah kepadanya. Namun jika menyentuh najis kering, maka tidak perlu mencuci badan yang menyentuhnya, karena tidak ada bagian najis yang menempel. (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan).
Hal yang sama juga difatwakan oleh Syaikh Abdullah Al-jibrin. Beliau menjelaskan,
لا يضر لمس النجاسة اليابسة بالبدن والثوب اليابس ، وهكذا لا يضر دخول الحمام اليابس حافياً مع يبس القدمين لأن النجاسة إنما تتعدى مع رطوبتها
Tidak masalah menyentuh benda najis kering dengan badan atau pakaian yang kering. Oleh karena itu, tidak masalah memasuki kamar mandi yang kering dengan memakai sepatu yang kering. Karena najis hanya bisa menempel jika basah. (Fatawa Al-Mar-ah Al-Muslimah, 1/194).
Karena itu, bagi anda yang sempat memakai sepatu itu, sementara kaki anda kering dan sepatu juga kering, maka anda tidak perlu was-was, karena kaki anda tidak najis.
Keempat, bagaimana cara mencuci badan yang terkena kulit babi
Bagi anda yang sempat memakai sepatu berkulit babi dalam kondisi basah, baik karena air dari luar maupun karena keringat kaki, wajib mencuci kaki, karena statusnya najis. Cara mencucinya hanya sekali sebagaimana najis pada umumnya. Sebagian ulama ada yang menyamakan najisnya babi seperti najisnya liur anjing. Namun analogi ini tidak benar dan tidak memiliki dasar yang kuat. Diantara ulama yang membantah pendapat yang menyamakan status najisnya kulit babi dengan liur anjing adalah Imam Ibnu Utsaimin. Beliau menjelaskan,
وهذا قياس ضعيف ؛ لأن الخنزير مذكور في القرآن ، وموجود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يرد إلحاقه بالكلب ، فالصحيح أن نجاسته كنجاسة غيره ، لا يغسل سبع مرات إحداها بالتراب
Menyamakan kulit babi dengan anjing adalah analogi yang lemah. Karena babi telah disebutkan dalam Al-Quran dan sudah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sementara tidak ada riwayat yang menyatamakan babi dengan anjing. Karena itu, yang benar, najisnya babi sama dengan najisnya benda najis lainnya. Tidak perlu dicuci tujuh kali. (As-Syarhul Mumthi’, 1/356).
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
🔍 Hukum Menikah Di Bulan Ramadhan, Hukum Uang Muka Hangus, Sunnah Sholat Idul Adha, Jenis Mimpi, Apakah Akikah Itu Wajib, Cara Memuaskan Suami Saat Hamil Besar